Bukan
tentang Aksi Teror Bom
Saya bukan ahli dalam
menganalisis kasus teror bom yang terjadi di kawasan Sarinah beberapa hari yang
lalu. Tidak. Saya tidak akan membahas itu. Saya hanya tergelitik melihat
beberapa tagar yang berseliweran di media sosial.
Sebagai seorang yang
jarang menonton televisi, pertama kali saya mendapat kabar tentang kasus teror
bom di kawasan Sarinah melalui grup WhatsApp. Beberapa anggota dari grup ini
adalah jurnalis, dan beberapa saat setelah terjadi ledakan bom, muncullah
berita ini di grup disertai dengan foto-foto orang yang sudah tergeletak di
dekat pos polisi di Jalan MH. Thamrin. Namun, beberapa kali jurnalis ini
mengingatkan bahwa berita ini masih di 'make
sure'. Mulailah saya mengotak-atik gadget
saya dan mencari tahu tentang kasus tersebut.
Berita yang tersebar di
internet memang tidak sepenuhnya bisa dipercaya, tetapi setidaknya saya
mendapat gambaran tentang apa yang sedang terjadi di Sarinah. Pertama kali yang
saya dapatkan adalah tentang tweet
seseorang yang memperingatkan bahwa hati-hati terhadap pengalihan isu, sebab
pada tanggal 14 Januari 2016 adalah batas waktu Freeport Indonesia untuk
menawarkan saham. Tentu saja saya tidak akan membahas ini. Kedua, saya membaca
tentang larangan membuat tagar #PrayForJakarta, alih-alih akan berakibat pada
krisis ekonomi. Lagi-lagi saya bukan ahli ekonom dan saya tidak akan
membahasnya.
Pasca ledakan bom di kawasan Sarinah membuat netizen menuliskan beberapa tagar di akun media sosialnya,
seperti tagar #PrayForJakarta. Saya rasa hal ini wajar saja sebagai bentuk rasa
simpati terhadap peristiwa yang sedang melanda negara kita dan juga sebagai
bentuk rasa belasungkawa kepada para korban ledakan bom. Dukungan ini bukan
hanya diberikan dari warga negara Indonesia, tetapi banyak dari warga negara
asing yang membuat tagar ini. Syukurlah, masih banyak yang peduli dengan negara
kita. Kedua, tagar #JakartaMencekam, membaca tagar ini kok ya seperti
mengerikan, mungkin maksud dari tagar ini agar kita lebih waspada, tapi
menurutku jatuhnya malah seperti menakut-nakuti. Sebuah tagar yang serasa
didramatisasi. Ah, dunia ini memang panggung sandiwara.
Munculnya tagar #KamiTidakTakut sempat menjadi trending topic dunia. Lucunya, Pak Jamal, seorang pedagang sate
dijadikan sebagai simbol keberanian dari tagar #KamiTidakTakut. Bagaimana
tidak, saat serangan teror berlangsung, Pak Jamal ini tengah asyik
mengipas-ngipas sate dagangannya seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal lokasi
dagangannya berada dekat dengan lokasi kejadian teror bom. Benar-benar bapak
yang pemberani. Saya salut padamu, Pak! Berbagai meme bermunculan tentang
pedagang sate ini, salah satunya berisi tulisan "Pantang Pulang Sebelum Matang".
Selain bapak pedagang sate, terlihat juga pedagang kopi dan rokok yang dengan
santainya berkeliaran menjajakan dagangannya menggunakan sepeda ontel. Dan
masih banyak lagi meme lain yang diikuti tagar #KamiTidakTakut. Memang, teror
bom sepertinya tidak mudah begitu saja membuat warga Jakarta takut. Menanggapi
tagar ini, salah satu pengguna media sosial Facebook, Puthut EA, membuat status
yang intinya berbunyi seperti ini, "Jadi sebetulnya tidak perlu pakai
tagar-tagaran untuk membuat masyarakat kita tidak takut. Sebab memang
masyarakat kita tidak pernah takut. Satu-satunya yang ditakuti masyarakat kita
hanyalah: cegatan polisi."
Dari berbagai macam tagar yang saya temukan, satu-satunya tagar yang
menarik perhatian saya dan membuat saya penasaran adalah tagar #KamiNaksir.
Lha, hubungannya apa coba dengan kasus teror bom. Setelah saya telusuri,
ternyata berhubungan dengan seorang polisi yang katanya berwajah tampan, dengan
aksi heroiknya berlari melewati pembatas jalan sambil mengacungkan pistol melawan teroris. Dalam
situasi yang tegang begini kok masih sempat-sempatnya ya orang memperhatikan
wajah-wajah 'bening'. Berikut salah satu tweet
dari @AdheFebrianti, "Adem banget liatnya (walaupun emak-emak) #KamiNaksir." Ya
ampun Bu, daripada sibuk buat tweet
yang tidak akan digubris si polisi tampan, mendingan buat resep cara membuat
pizza lalu dishare, kan lebih
bermanfaat gitu. Tagar ini heboh digunakan di media sosial Twitter, mulai dari
dedek-dedek gemes hingga mamah-mamah muda. Untungnya, tagar #KamiNaksir ini
tidak diikuti dengan tagar #NikahinAdekBang.***
Wah, keren.
ReplyDeleteKesalahan ketik sangat minim.
Kalau boleh, sebaiknya istilah asing digantikan dengan padanan kata berbahasa Indonesia. Lebih baik menurutku, dibandingkan dengan menuliskannya secara miring.
Ditunggu tulisannya berikutnya, Hajrah.
Menanggapi komen Kak Ica, mungkin tidak masalah istilah asing yang digunakan, karena istilah-istilah itu sudah merakyat di Indonesia.
ReplyDeleteSaran lagi, mungkin sebaiknya bukan cuma resep yang dishere, bagaimana kalau pizzanya saja yang langsung dishere? :D
Terima kasih kak Ica dan Uchi.
ReplyDeleteWah, saran Uchi yang kedua saya sangat setubuh, eh setuju maksudnya :D